Rakyat Jelata

teradesa.com. Netizen “kepanasan” dengan pilihan diksi “rakyat jelata” yang dilontarkan juru bicara kantor komunikasi kepresidenan, Adita Irawati. Pasalnya kata rakyat jelata mengesankan makna memformalisasi stratifikasi masyarakat di Indonesia, apalagi diucapkan mewakili Presiden. Terutama, kaitannya dengan yang dikomentari menunjukkan bahwa kelompok masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan formal sebagai lapisan masyarat terendah. Kenapa tidak hanya menyebut rakyat titik [.].

Baiklah, kita merefresh ingatan kita sebuah film “Bayang-Bayang Tahta”. Film ini menggambarkan kehidupan “rakyat jelata” di sebuah kerajaan feodal yang hidup dalam bayang-bayang kekuasaan penguasa paternalistik. Cerita berpusat pada seorang pemuda Desa bernama Mukidi, yang terjebak dalam posisi antara loyalitas kepada raja dan keinginannya untuk melawan ketidakadilan.

Ketundukan rakyat kepada elite digambarkan melalui ritual, kerja paksa, dan pengorbanan tanpa pamrih. Konflik memuncak saat Mukidi dibantu kembang Desa Srinem menyadari bahwa kesetiaan buta mereka justru memperkuat tirani, memicu pergulatan moral untuk memilih antara tunduk atau melawan sistem yang telah mendarah daging. Alur cerita dalam film dadakan ini memperlihatkan realitas pahit stratifikasi sosial dan pergulatan identitas dalam masyarakat paternalistik.

Istilah “rakyat jelata” dalam budaya Indonesia merujuk pada lapisan masyarakat kelas paling bawah, yang sering diasosiasikan dengan keterbatasan dan ketidakberdayaan. Secara linguistik, frasa ini mengandung konotasi ketidakberdayaan dalam struktur sosial di masyarakat. Dalam konteks masyarakat paternalistik seperti di Indonesia, “rakyat jelata” dianggap sebagai pihak yang harus tunduk kepada elite atau pemerintah.

Secara historis, istilah ini muncul dari sistem feodal yang membagi masyarakat ke dalam hierarki- hierarki. Pada masa kerajaan-kerajaan di Nusantara misalnya, “rakyat jelata” adalah golongan yang mendukung penguasa melalui tenaga kerja atau hasil bumi. Mereka rela membayar pajak, kerja rodi, dll. Hubungan paternalistik demikian ini terbangun melalui kewajiban pemimpin melindungi rakyat sebagai balasan atas loyalitas yang diberikan oleh mereka.

Berbeda dari perspektif bahasa, kata “jelata” berasal dari akar kata Jawa Kuno “jalata”, yang berarti rendah atau biasa. Penyematan istilah ini dalam kata rakyat dapat memperkuat karakter hierarkis masyarakat tradisional. Pemaknaan ini kemudian diperkuat oleh penggunaan dalam karya sastra dan dokumen sejarah, yang mencerminkan posisi sosial golongan ini. Coba bayangkan bagaimana reposisi “rakyat jelata” dalam berbagai cerita kuno, begitulah realitas makna rakyat jelata di Indonesia.

Jika kita mau masuk kedalam kajian lebih mendalam, terutama dalam konteks masyarakat Indonesia, sebagaimana dijelaskan dalam teori patron-client, maka dapat membantu menjelaskan relasi antara “rakyat jelata” dan elite penguasa. Patron [penguasa] memberikan perlindungan dan sumber daya, sementara klien [rakyat jelata] memberikan kesetiaan dan tenaga. Hubungan ini dapat menciptakan ketergantungan struktural yang memperkuat stratifikasi sosial dalam masyarakat tradisional Indonesia.

Sebagian besar masyarakat Indonesia masih diwarnai model paternalistik, yang sampai mengakar dan berpengaruh terhadap  cara mereka [rakyat jelata] dalam melihat atau memaknai diri mereka dalam tatanan sosial di masyarakat. Gramsci dalam teorinya cultural hegemony, menjelaskan bagaimana dominasi budaya elite [penguasa] diterima oleh lapisan masyarakat terendah [rakyat jelata] tanpa perlawanan yang berarti. Rakyat jelata seringkali memandang posisi mereka sebagai takdir, dalam bahasa lagunya Suliyana, mereka selalu sadar posisi.

Dalam konteks modern, istilah “rakyat jelata” mengalami perubahan makna. Pada era negara modern, istilah rakyat jelata sering digunakan untuk merujuk pada makna perjuangan kolektif rakyat dalam melawan penjajahan [imperialisme]. Rakyat jelata menjadi simbol solidaritas Nasional, menonjolkan peran mereka sebagai penggerak dalam perjuangan kemerdekaan. Sebagaimana ditunjukkan saat melawan pejajah Belanda dan Jepang.

Begitu halnya dengan pendekatan postcolonial, juga memberikan perspektif baru dalam menganalisis istilah rakyat jelata. Narasi kolonial sering meminggirkan peran rakyat jelata, tetapi gerakan kebangkitan postkolonial menempatkan mereka sebagai pusat sejarah, misalnya cikal bakal TNI adalah rakyat, rakyat jelata menjadi pusat dalam melawan penjajah.  Dengan demikian, penekanan pada suara mereka [rakyat jelata] dapat membuka peluang untuk memahami dinamika kekuasaan dari bawah ke atas.

Meskipun demikian, pada saat ini, penggunaan istilah rakyat jelata dalam konteks politik dan budaya populer di Indonesia mencerminkan makna dualisme. Di satu sisi, istilah ini digunakan untuk menunjukkan empati terhadap masyarakat golongan bawah. Tetapi di sisi lainnya, ia dapat dimaknai menjadi alat retorika untuk melegitimasi dominasi kekuasaan pemerintah atas masyarakat [rakyat jelata]. Cak Nur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top